Langsung ke konten utama

Ustadz Standar Ganda Bukan Standar Janda

Seperti biasa, hari ini aku berjalan menyusuri stan para penjual makanan dan minuman buka puasa di sebuah pasar Ramadhan. Tentu saja aku bukan sedang bercerita berada di Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, atau Inggris. Tetapi di kota kebanggaanku, Kota Pekanbaru, kota di mana aku hanya ingin kembali untuk sekadar menghangatkan tubuh di balik selimut dan hangatnya kopi luwak sachet.
Sederet nama-nama negara Barat yang kusebut tadi, adalah negara impianku, aku ingin suatu saat ke sana. Dan impian itu masih tetap terjaga di lubuk hatiku.
Bagaimana dengan Mekah, Madinah, Istanbul, Kairo, Taheran, Islamabad, Baghdad, Maroko, Al-Jazair, dan beberapa tempat di dunia Islam lainnya? Tentu saja itu juga harapanku untuk dapat menelusuri jalanannya dan bertemu masyarakatnya, yang notabene saudaraku seiman dalam indahnya Islam. 
Jadi, begini, jika aku menceritakan kekagumanku terhadap negara-negara Barat, bukan berarti aku lantas menjadi seoarang pemuja Barat yang fanatik dan memandang sebelah mata kota-kota atau negara Muslim. Aku Muslim dan kukatakan aku bangga sebagai seorang Muslim. 

Jika aku mengagumi kemajuan peradaban Tiongkok bukan berarti aku berhaluan paham komunis, yang ingin "mengenyahkan" tuhan dari masyarakat beragama. Toh, sekarang tidak ada negara maupun bangsa yang masih menganut paham komunis secara utuh. Walau begitu, masih saja banyak orang yang fobia berlebihan pada kebangkitan PKI. Dan yang sering teriak komunis-komunis, itu tanda kalau baca sesuatu hanya dari judul atau baca artikel dari media abal-abal. Lalu, buat kesimpulan hantu belau komunis bakal bangkit. Padahal, ideologi ini nasibnya sudah terseok-seok. Meminjam istilah Buya Syafi’ii Maarif, komunisme tinggal tiang gantungan sejarah. Seiring waktu, ideologi yang diidentikkan dengan warna merah ini akan terus mengalami kebangkrutan.

Rusia, yang dulu dikenal sebagai Uni Soviet, yang pernah menjadi mbah-nya ideologi komunisme, sekarang negara dan pemerintahannya berbentuk federasi-liberal, perekonomiannya berbasis pasar bebas seperti negara-negara Barat umumnya. China atau Republik Rakyat Tiongkok atau Tiongkok saja, seperti halnya Rusia, Kuba dan beberapa negara yang dulunya berideologi komunis, juga sudah menjadi negara berpaham “gado-gado”, siapa sangka, mulai berpaling pada kapitalisme. Yang benar-benar masih memegang prinsip paham komunis secara utuh mungkin hanya Korea Utara, dan itu pun tinggal menunggu waktunya saja, karena ideologi komunisnya yang semakin sekarat. 

Sekarang zamannya serba terbalik serta banyak orang berkepribadian ganda. Selain fenomena yang berotot nafsu sama yang berotot, seperti heboh diberitakan beberapa waktu lalu, para pria bertubuh six pack pesta gay di salah satu pusat olaraga di Jakarta. Karena itu juga, akhirnya aku berpikir dua kali untuk membentuk tubuhku jadi berotot. Beruntunglah wahai kalian para wanita jika punya pacar yang kurus atau tambun sekalian, he-he-he.

Kemudian lagi, mahasiswa yang baru masuk kuliah lalu menjadi aktivis dakwah kampus, sering ikut diskusi-pengajian di pelataran kampus, yang sanad keilmuannya enggak jelas. Yang sebelumnya biasa-biasa saja, tiba-tiba beberapa bulan kemudian jadi serba berubah, pergaulannya, bahasanya yang kearab-araban, buku-buku bacaannya, sampai penampilan dan cara shalatnya pun berubah. Ada juga yang mendadak jadi kebarat-baratan, penampilannya sampai bahasa Inggrisnya yang belibet.
Atau fenomena lainnya, seorang ustadz yang memberi nasihat untuk jamaahnya, supaya berpikir dua kali untuk berpoligami. Dalam tayangan video yang viral beberapa waktu lalu di media sosial, beliau menjelaskan betapa sulitnya berpoligami, sambil memeluk kedua istrinya. Iya, kedua istrinya. Sambil cengangas-cengenges. Lihat, gimana aku juga enggak mau coba. Atau gimana orang mau percaya kalo poligami itu enggak enak bagi seorang pria he-he-he, ustadz standar gandaku. #tepok jidat.

Atau seperti ustadz yang terkenal dengan bukunya Udah, Putusin Aja, yang juga seorang yang getol memperjuangkan khilafah bersama organisasi massa-nya; HTI, yang mengutuk demokrasi, mencemeeh kalau nasionalisme itu enggak ada dalilnya, Pancasila itu thoghut, “Ah macem-macemlah si Felix Shiau itu,” kataku pada Rico, teman diskusiku suatu kali. 
Orang-orang semacam ini tak sadar sudah menjilat air ludah sendiri. Dia mencaci-maki sistem demokrasi dan anti Pancasila, tapi tak sadar bahwa mereka bebas mengkampanyekan paham khilafah karena negara kita menganut sistem demokrasi. Kalau misalnya negara kita menganut paham fasis, tentu sudah sejak dulu orang-orang seperti itu serta organisasinya dienyahkan oleh pemerintah. Mereka menghina nasionalisme dan Pancasila, yang menjadi kesepakatan tokoh nasionalis dan ulama ketika negara ini didirikan, tapi enggak sadar mereka hidup, makan, minum, di Bumi Pertiwi yang diperjuangkan kaum nasionalis dari penjajahan. Lalu mereka getol ingin menerapkan ideologi asing di negeri ini. Sama saja ingin negeri ini dijajah kembali dalam wujud ideologi asing itu. Benar-benar tidak tahu terima kasih.

Dan, soal standar ganda ini, akhir-akhir ini sering jadi pembicaraan fenomena ustadz berstandar ganda. Dan yang masih jadi pertanyaanku, kenapa mereka yang merasa paling sunnah tetapi malah nanggung menurutku. Nabi berpoligami, maksud dan tujuannya untuk mengangkat martabat sang wanita karena kondisi waktu itu perempuan sangat tidak dihargai dan dipandang manusia kelas dua atau bahkan tiga—di zaman jahilliyah. Kemudian istri-istri Nabi itu berstatus janda sebelum dinikahi Nabi. Sekali lagi, janda—dan hanya Aisyah RA yang seorang gadis.


Terus, di mana letak yang bener-bener sunahnya selain nambah kawin lagi yang ngakunya ustazd-ustazd, sekarang ini. Kalau bukan memuaskan nafsu birahinya. Pantas jika sekarang dibilang akhir zaman, salah satu tanda-tandanya banyak ustadz-ustadz berstandar ganda, juga banyak yang berstandar janda, maksudnya nikah lagi bukan sama janda, jandanya diparkirin gadisnya dinikahin. Tapi kalau jandanya muda, cantik, dan seksi, mungkin boleh juga bagi si ustadz, he-he-he.

Semoga setelah menulis ini, aku bisa mendapatkan nobel perdamaian atas pembelaan hak-hak wanita yang dikibulin atas nama agama. Jika kalimat dikibulin atas nama agama itu termasuk penistaan dan aku dilaporkan ke polisi sama ustazd standar ganda, maupun pembelanya, maka aku ingin satu sel dengan Ahok di Jakarta sana meratapi nasib yang sama. Atau sebaliknya aku yang seharusnya melaporkan mereka kepada Allah dan menuntut kembali atas penistaan agama, karena mereka melakukan kezaliman atas nama agama.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Wallahul  muwaffiq ila aqwamit-tharieq

(Kamis, 25 Mei 2017)
Riki Asiansyah,
(Aktivis GP Ansor Riau  [Nahdlatul Ulama])
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fikih Sebagai Etika Sosial, Bukan Hukum Positif Negara

Masih ingatkah kita saat mantan Ketua MK yang mengusulkan koruptor untuk dipotong jarinya? Belakangan beliau tertangkap tangan oleh KPK menerima suap. Masih ingatkah kita dengan anggota DPRD DKI yang berniat maju di Pilkada dengan program menegakan Syariat Islam di Ibukota negara kita? Belakangan KPK juga menangkap yang bersangkutan atas uang suap yang diterimanya. Dan masih banyak lagi contoh miris yang dipertontonkan para “begundal” bertopeng “malaikat” negeri ini yang merusak citra agama, dengan visi misi Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-alamin).   Formalisasi hukum Islam meresahkan banyak pihak. Di internal umat Islam, formalisasi hukum Islam terjadi perdebatan panjang yang tidak tuntas sampai sekarang. Kalangan Islam formalis beralasan, jika hukum Islam menjadi hukum formal maka ada kekuatan pemaksaan dalam aplikasi hukum Islam dalam kehidupan sosial. Namun kalangan substansialis beralasan jika hukum Islam menjadi hukum positif ...

Beberapa Ciri Khusus Aswaja An-Nahdliyah

Ketua Aswaja NU Center Jombang, Ustadz Yusuf Suharto menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) an-Nahdliyah memiliki ciri khusus (khas) tersendiri. Ciri tersebut sebagai pembeda antara penganut Aswaja dari lainnya. Di antara ciri-ciri khas tersebut, Yusuf menyebutkan yang pertama adalah secara teologis meyakini bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu, ada tanpa tempat dan arah, Mahasuci dari bentuk dan ukuran, dan tidak dapat dibayangkan. Terkait sejumlah ayat tentang tuhan di Al-Qur'an atau yang biasa disebut ayat mutasyabbihat (maknanya masih samar), Aswaja memakai metode tafwidl atau takwil . Ayat-ayat tersebut tidak boleh diartikan dan dipahami secara tekstual, melainkan harus ditafsiri dengan metode-metode tersebut. Ciri yang kedua meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Ketiga tidak mengafirkan seorang muslim dengan sebab dosa besar yang ia lakukan selama ia tidak menghalalkannya (meyakini kehalalannya). Sementara yang keempat...

Hoax dan Kaum Sumbu Pendek di Medsos

Aku tertarik dengan ucapan seorang filsuf Karl Raimund Popper, “Realitas merupakan dunia ketiga, dunia yang berisikan pikiran manusia dan produk pikiran manusia”. Jadi, tidak mengherankan kalau saat ini kita lihat Indonesia termasuk salah satu produsen dan konsumen kabar bohong alias hoax terbesar di dunia. Berkaca dari pengguna media daring dan media sosial, tempat virus berbahaya itu mula-mula menyebar tanpa terkendali.  Sumber terakhir dari Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, awal 2016 terdapat tidak kurang dari 800 ribu situs yang diduga menjadi produsen virus hoax , berita palsu, dan ujaran kebencian.  Dan itu belum termasuk dari status pribadi yang ada di media sosial. Melihat dari minat baca masyarakat kita yang sangat-sangat rendah, sehingga jangankan selektif untuk mencari kebenarannya atau mengklarifikasi, alih-alih itu bukan kebiasaan bagi mereka yang tidak terbiasa menggunakan akal sehat.  Meminjam istilah yang belum lama ini dikemukan Ja...