Langsung ke konten utama

Fikih Sebagai Etika Sosial, Bukan Hukum Positif Negara

Masih ingatkah kita saat mantan Ketua MK yang mengusulkan koruptor untuk dipotong jarinya? Belakangan beliau tertangkap tangan oleh KPK menerima suap. Masih ingatkah kita dengan anggota DPRD DKI yang berniat maju di Pilkada dengan program menegakan Syariat Islam di Ibukota negara kita? Belakangan KPK juga menangkap yang bersangkutan atas uang suap yang diterimanya. Dan masih banyak lagi contoh miris yang dipertontonkan para “begundal” bertopeng “malaikat” negeri ini yang merusak citra agama, dengan visi misi Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-alamin).
 
Formalisasi hukum Islam meresahkan banyak pihak. Di internal umat Islam, formalisasi hukum Islam terjadi perdebatan panjang yang tidak tuntas sampai sekarang. Kalangan Islam formalis beralasan, jika hukum Islam menjadi hukum formal maka ada kekuatan pemaksaan dalam aplikasi hukum Islam dalam kehidupan sosial. Namun kalangan substansialis beralasan jika hukum Islam menjadi hukum positif maka perpecahan umat Islam tidak terelakan dalam proses formulasi hukum yang digunakan, apakah akan menggunakan sistem bermazhab atau langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis. Formalisasi hukum Islam juga berpotensi mengakibatkan disintegrasi bangsa yang terdiri atas berbagai macam agama, suku, ras, dan antargolongan.
Buah pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam buku “Mengembangkan Fikih Sosial” yang ditulis oleh Dr. Jamal Ma’mur Asmani, M.A. Dianggap sebagai sosok nasionalis sejati yang berbasis relegius lebih mengedepankan kepentingan nasional dari pada kepentingan primordial. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjaga harga mati yang harus dijaga. Aplikasi syariat Islam jika menimbulkan disintergrasi justru menjadikan Islam menjadi agama tertuduh dan bertentangan dengan visi misi Islam itu sendiri. Disinilah pentingnya fikih dijadikan etika sosial, bukan hokum positif negara karena bisa menyebabkan disintegrasi bangsa. Hal ini dilakukan dengan integrasi ‘illat dan hikmah hukum.

Keduanya digabungkan untuk mengurangi ciri fikih yang formalis yang hanya melihat aspek lahirnya tanpa mempertimbangkan aspek subtansinya. Intergrasi ini dalam rangka mewujudkan produk hukum yang sesuai dengan tujuan aplikasi hukum (maqasidus syariah), yaitu menjaga agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan/harga diri.
Terobosan paradigmatik Kiai Sahal dalam melahirkan fikih sosial semangkin dirasakan manfaatnya bagi pengembangan pemikiran Islam dan pemberdayaan sosial. Fikih sosial membuka peluang demokratisasi dalam menafsirkan teks-teks fikih. Fikih sosial ini memiliki lima prinsip. Pertama, interprestasi teks-teks fikih secara kontekstual. Kedua, beralih dari mazhab qauli (tekstual) menujuh mazhab manhaji (metodologis). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang ushul dan mana ajaran yang furu’. Keempat, menjadikan fikih sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Kelima, pengenalan metode pemikiran filosofis, khususnya dalam masalah sosial budaya.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Wallahul  muwaffiq ila aqwamit-tharieq

(Kamis, 25 Mei 2017)
Riki Asiansyah,
(Aktivis GP Ansor Riau  [Nahdlatul Ulama])

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beberapa Ciri Khusus Aswaja An-Nahdliyah

Ketua Aswaja NU Center Jombang, Ustadz Yusuf Suharto menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) an-Nahdliyah memiliki ciri khusus (khas) tersendiri. Ciri tersebut sebagai pembeda antara penganut Aswaja dari lainnya. Di antara ciri-ciri khas tersebut, Yusuf menyebutkan yang pertama adalah secara teologis meyakini bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu, ada tanpa tempat dan arah, Mahasuci dari bentuk dan ukuran, dan tidak dapat dibayangkan. Terkait sejumlah ayat tentang tuhan di Al-Qur'an atau yang biasa disebut ayat mutasyabbihat (maknanya masih samar), Aswaja memakai metode tafwidl atau takwil . Ayat-ayat tersebut tidak boleh diartikan dan dipahami secara tekstual, melainkan harus ditafsiri dengan metode-metode tersebut. Ciri yang kedua meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Ketiga tidak mengafirkan seorang muslim dengan sebab dosa besar yang ia lakukan selama ia tidak menghalalkannya (meyakini kehalalannya). Sementara yang keempat...

Hoax dan Kaum Sumbu Pendek di Medsos

Aku tertarik dengan ucapan seorang filsuf Karl Raimund Popper, “Realitas merupakan dunia ketiga, dunia yang berisikan pikiran manusia dan produk pikiran manusia”. Jadi, tidak mengherankan kalau saat ini kita lihat Indonesia termasuk salah satu produsen dan konsumen kabar bohong alias hoax terbesar di dunia. Berkaca dari pengguna media daring dan media sosial, tempat virus berbahaya itu mula-mula menyebar tanpa terkendali.  Sumber terakhir dari Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, awal 2016 terdapat tidak kurang dari 800 ribu situs yang diduga menjadi produsen virus hoax , berita palsu, dan ujaran kebencian.  Dan itu belum termasuk dari status pribadi yang ada di media sosial. Melihat dari minat baca masyarakat kita yang sangat-sangat rendah, sehingga jangankan selektif untuk mencari kebenarannya atau mengklarifikasi, alih-alih itu bukan kebiasaan bagi mereka yang tidak terbiasa menggunakan akal sehat.  Meminjam istilah yang belum lama ini dikemukan Ja...