Masih ingatkah kita saat mantan Ketua MK yang mengusulkan koruptor
untuk dipotong jarinya? Belakangan beliau tertangkap tangan oleh KPK
menerima suap. Masih ingatkah kita dengan anggota DPRD DKI yang berniat
maju di Pilkada dengan program menegakan Syariat Islam di Ibukota negara
kita? Belakangan KPK juga menangkap yang bersangkutan atas uang suap
yang diterimanya. Dan masih banyak lagi contoh miris yang dipertontonkan
para “begundal” bertopeng “malaikat” negeri ini yang merusak citra
agama, dengan visi misi Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam
(rahmatan lil-alamin).
Keduanya digabungkan untuk mengurangi ciri fikih yang formalis yang hanya melihat aspek lahirnya tanpa mempertimbangkan aspek subtansinya. Intergrasi ini dalam rangka mewujudkan produk hukum yang sesuai dengan tujuan aplikasi hukum (maqasidus syariah), yaitu menjaga agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan/harga diri.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Wallahul muwaffiq ila aqwamit-tharieq
(Kamis, 25 Mei 2017)
Riki Asiansyah,
(Aktivis GP Ansor Riau [Nahdlatul Ulama])
Formalisasi hukum Islam meresahkan banyak
pihak. Di internal umat Islam, formalisasi hukum Islam terjadi
perdebatan panjang yang tidak tuntas sampai sekarang. Kalangan Islam
formalis beralasan, jika hukum Islam menjadi hukum formal maka ada
kekuatan pemaksaan dalam aplikasi hukum Islam dalam kehidupan sosial.
Namun kalangan substansialis beralasan jika hukum Islam menjadi hukum
positif maka perpecahan umat Islam tidak terelakan dalam proses
formulasi hukum yang digunakan, apakah akan menggunakan sistem bermazhab
atau langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis. Formalisasi hukum
Islam juga berpotensi mengakibatkan disintegrasi bangsa yang terdiri
atas berbagai macam agama, suku, ras, dan antargolongan.
Buah
pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam buku “Mengembangkan Fikih Sosial”
yang ditulis oleh Dr. Jamal Ma’mur Asmani, M.A. Dianggap sebagai sosok
nasionalis sejati yang berbasis relegius lebih mengedepankan kepentingan
nasional dari pada kepentingan primordial. Keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) menjaga harga mati yang harus dijaga.
Aplikasi syariat Islam jika menimbulkan disintergrasi justru menjadikan
Islam menjadi agama tertuduh dan bertentangan dengan visi misi Islam itu
sendiri. Disinilah pentingnya fikih dijadikan etika sosial, bukan hokum
positif negara karena bisa menyebabkan disintegrasi bangsa. Hal ini
dilakukan dengan integrasi ‘illat dan hikmah hukum.
Keduanya digabungkan untuk mengurangi ciri fikih yang formalis yang hanya melihat aspek lahirnya tanpa mempertimbangkan aspek subtansinya. Intergrasi ini dalam rangka mewujudkan produk hukum yang sesuai dengan tujuan aplikasi hukum (maqasidus syariah), yaitu menjaga agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan/harga diri.
Terobosan paradigmatik Kiai Sahal dalam
melahirkan fikih sosial semangkin dirasakan manfaatnya bagi pengembangan
pemikiran Islam dan pemberdayaan sosial. Fikih sosial membuka peluang
demokratisasi dalam menafsirkan teks-teks fikih. Fikih sosial ini
memiliki lima prinsip. Pertama, interprestasi teks-teks fikih secara
kontekstual. Kedua, beralih dari mazhab qauli (tekstual) menujuh mazhab
manhaji (metodologis). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang
ushul dan mana ajaran yang furu’. Keempat, menjadikan fikih sebagai
etika sosial, bukan hukum positif negara. Kelima, pengenalan metode
pemikiran filosofis, khususnya dalam masalah sosial budaya.
Wallahul muwaffiq ila aqwamit-tharieq
(Kamis, 25 Mei 2017)
Riki Asiansyah,
(Aktivis GP Ansor Riau [Nahdlatul Ulama])
Komentar
Posting Komentar