Langsung ke konten utama

Ujian Kebhinekaan dan Kesepakatan Bangsa



Hiruk pikuk di media sosial maupun media arus utama belakangan ini, tidak jauh dari rasa curiga antar sesama anak bangsa, rasa toleransi yang mulai memudar, serta merasa kelompoknya paling benar dan memaksakan kehendak. Banyak yang memakai cara-cara menyampaikan pendapat maupun kritikan yang jauh dari etika dan budaya bangsa yang luhur. Belum lagi, masih ada orang-orang tidak tahu diri mengotak-atik kesepakatan (social society) pendiri bangsa ini, yakni ideologi Pancasila yang sudah final. Jika fenomena ini dibiarkan, tinggal menunggu waktu hancurnya keindonesiaan kita. 

Dinamika kehidupan berbangsa dewasa ini memasuki babak baru namun sebenarnya tidak jauh dari persoalan-persoalan yang telah lalu. Kita seperti sebuah bangsa yang tidak pernah belajar dari pengalaman-pengalaman yang telah mengiringi jatuh bangunnya bangsa ini, tanpa mengambil manfaat dari pengorbanan tragedi-tragedi kelam itu. 

Konflik SARA yang pernah terjadi di masa lalu menjadi pelajaran amat berharga bagi kita, menyadarkan kita betapa besar kerugian yang ditimbulkan, terutama trauma mendalam bagi mereka yang mengalami.  

Bicara soal bangsa tidak lepas dari pemudanya, berbicara Indonesia tidak bisa dilepaskan dari masyarakat muslimnya. Seperti yang dikatakan seorang tokoh masyarakat, ulama dan budayawan tanah air KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), bahwa baik buruknya bangsa Indonesia itu adalah tanggung jawab masyarakat muslimnya yang mayoritas.

Pancasila sebagai ideologi bangsa—dirumuskan untuk merekatkan persamaan dalam perbedaan, merupakan suatu solusi yang ditawarkan sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara dari hasil pemikiran dan kesadaran akan budaya dan budi pekerti luhur masyarakat Indonesia itu sendiri. Pancasila yang terdiri dari lima poin besar ideologis selalu bersifat dinamis dengan perkembangan zaman. 

Kita dituntut untuk senantiasa mengembangkannya ke dalam segala aspek kehidupan untuk menjadi manusia yang berketuhanan sesuai agama masing-masing. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap kelompok minoritas maupun sebaliknya. Minoritas di sini tidak hanya dipahami secara kuantintas namun juga kualitas. Yang banyak melindungi yang sedikit dan yang kaya melindungi yang miskin.

Kemanusian yang adil dan beradab, setiap agama menjunjung nilai-nilai kemanusian, memerintahkan setiap umatnya untuk adil dan beradab, direfleksikan dan dianjurkan dalam tatanan kehidupan dari yang terkecil personal, keluarga, dan nantinya dalam berbangsa dan bernegara akan secara otomatis mengikutinya.  

Tuhan menganugerahkan kita keanekaragaman yang sangat indah. Keanekaragaman itu berupa tumbuh-tumbuhan, beragam hewan dari berbagai jenis, yang tersebar luas dari ujung pulau Sumatra sampai ujung Papua. Dan yang paling utama sebagai komponon yang mengelola, diberi amanah sebagai khalifah oleh Allah SWT yaitu manusia-manusia yang membentuk kelompok-kelompok suku bangsa serta agama di bumi Ibu Pertiwi ini. 

Bung Karno paham betul bahwa bangsa Indonesia tidak akan pernah merasakan kemerdekaan tanpa adanya persatuan. Karena sejarah bangsa ini maupun sejarah peradaban bangsa-bangsa lain di dunia telah membuktikan bahwa perpecahan dan nafsu kekuasaan suatu kelompok hanya akan menghancurkan tatanan kehidupan sosial dan menghancurkan dirinya sendiri. 

Sebuah bangsa senantiasa dihadapkan pada persoalan-persolan yang dinamis dan multidimensional dalam menghadapi tantangan-tantangan global. Perlu sebuah mekanisme dalam mengambil sebuah kebijakan untuk mewakili aspirasi maupun kepentingan tiap kelompok. Yang nantinya kebijakan maupun keputusan yang diambil dapat diterima oleh semua komponen yang berada dalam komunitas tersebut. Mewakili di sini bukan berarti kelompok yang mayoritas memegang kendali dalam jumlah perwakilan yang dalam hitungan satu orang diwakilli satu, akan tetapi didasari oleh kesadaran bahwa keterwakilan satu mewakili satu kelompok atau golongan.

Problematika yang dihadapi masyarakat dunia saat ini, umat Islam khususnya, tidak jauh dari masalah keadilan. Keadilan hukum, keadilan ekonomi, keadilan berbudaya dan sebagainya. Terutama di Indonesia, ketimpangan masih sangat terasa. Istilah hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas menjadi fenomena sepanjang perjalaan bangsa ini. Keadilan ekonomi juga merupakan permasalahan yang terus menjadi momok yang tiada habis-habisnya, bagaimana kapitalisasi menghancurkan masyarakat melarat tanpa ampun, tanpa toleransi. 

Keadilan berbudaya, sekarng tidak usah heran lagi jika melihat dari pelosok kampung sampai sudut kota, identitas kita sebagai bangsa yang berdaulat sedang diuji dan dikepung dimana-mana. Ada yang gila kearab-araban dan banyak juga yang gila kebarat-baratan. Sedangkan yang gila keindonesiaan dipandang sebelah mata. 

Islam hadir di dunia melalui wahyu, adalah sebagai pesan perdamaian dan keselamatan. Sebuah agama ideal yang mengandung nilai-nilai luhur kemanusiaan. Tapi secara realitanya, kebanyakan umat Islam tidaklah ideal. Jika keselamatan dan kedamaiaan itu sudah tidak lagi didapat dari kebesaran nama Islam dan komunitas pemeluknya, apakah kita masih sesuai dengan masyarakat yang diharapkan Allah SWT untuk diberi petunjuk tentang esensi Islam itu sendiri? 


Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Wallahul  muwaffiq ila aqwamit-tharieq

(Rabu, 2 Ramadhan 1438/29 Mei 2017)
Riki Asiansyah,
(Aktivis GP Ansor Riau  [Nahdlatul Ulama]) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fikih Sebagai Etika Sosial, Bukan Hukum Positif Negara

Masih ingatkah kita saat mantan Ketua MK yang mengusulkan koruptor untuk dipotong jarinya? Belakangan beliau tertangkap tangan oleh KPK menerima suap. Masih ingatkah kita dengan anggota DPRD DKI yang berniat maju di Pilkada dengan program menegakan Syariat Islam di Ibukota negara kita? Belakangan KPK juga menangkap yang bersangkutan atas uang suap yang diterimanya. Dan masih banyak lagi contoh miris yang dipertontonkan para “begundal” bertopeng “malaikat” negeri ini yang merusak citra agama, dengan visi misi Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-alamin).   Formalisasi hukum Islam meresahkan banyak pihak. Di internal umat Islam, formalisasi hukum Islam terjadi perdebatan panjang yang tidak tuntas sampai sekarang. Kalangan Islam formalis beralasan, jika hukum Islam menjadi hukum formal maka ada kekuatan pemaksaan dalam aplikasi hukum Islam dalam kehidupan sosial. Namun kalangan substansialis beralasan jika hukum Islam menjadi hukum positif ...

Beberapa Ciri Khusus Aswaja An-Nahdliyah

Ketua Aswaja NU Center Jombang, Ustadz Yusuf Suharto menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) an-Nahdliyah memiliki ciri khusus (khas) tersendiri. Ciri tersebut sebagai pembeda antara penganut Aswaja dari lainnya. Di antara ciri-ciri khas tersebut, Yusuf menyebutkan yang pertama adalah secara teologis meyakini bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu, ada tanpa tempat dan arah, Mahasuci dari bentuk dan ukuran, dan tidak dapat dibayangkan. Terkait sejumlah ayat tentang tuhan di Al-Qur'an atau yang biasa disebut ayat mutasyabbihat (maknanya masih samar), Aswaja memakai metode tafwidl atau takwil . Ayat-ayat tersebut tidak boleh diartikan dan dipahami secara tekstual, melainkan harus ditafsiri dengan metode-metode tersebut. Ciri yang kedua meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Ketiga tidak mengafirkan seorang muslim dengan sebab dosa besar yang ia lakukan selama ia tidak menghalalkannya (meyakini kehalalannya). Sementara yang keempat...

Hoax dan Kaum Sumbu Pendek di Medsos

Aku tertarik dengan ucapan seorang filsuf Karl Raimund Popper, “Realitas merupakan dunia ketiga, dunia yang berisikan pikiran manusia dan produk pikiran manusia”. Jadi, tidak mengherankan kalau saat ini kita lihat Indonesia termasuk salah satu produsen dan konsumen kabar bohong alias hoax terbesar di dunia. Berkaca dari pengguna media daring dan media sosial, tempat virus berbahaya itu mula-mula menyebar tanpa terkendali.  Sumber terakhir dari Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, awal 2016 terdapat tidak kurang dari 800 ribu situs yang diduga menjadi produsen virus hoax , berita palsu, dan ujaran kebencian.  Dan itu belum termasuk dari status pribadi yang ada di media sosial. Melihat dari minat baca masyarakat kita yang sangat-sangat rendah, sehingga jangankan selektif untuk mencari kebenarannya atau mengklarifikasi, alih-alih itu bukan kebiasaan bagi mereka yang tidak terbiasa menggunakan akal sehat.  Meminjam istilah yang belum lama ini dikemukan Ja...